JAKARTA,– Komisi IV DPR RI kembali menggelar agenda rapat bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI. Rapat kali ini membahasi terkait Evaluasi hasil pemeriksaan BPK RI semester I TA 2024. Mulai dari evaluasi pelaksanaan anggaran TA 2024 (per Oktober), rencana kegiatan program dan kegiatan TA 2025, hingga isu-isu aktual.
Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi IV DPR RI Arif Rahman menanggapi kebijakan KKP terkait Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Menurutnya, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum optimal dikarenakan adanya beberapa kendala yang menghambat.
“Mengenai kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) implementasinya secara kebijakan belum memadai dan KKP telah menindaklanjuti dengan tujuh intruksi menteri. Namun pelaksanaannya masih menghadapi kendala, seperti keterbatasan APBN untuk pembangunan pelabuhan dan lain-lain,” ujar Arif Rahaman, Rabu (20/11/24).
Menanggapi hal tersebut, Arif mengajukan beberapa pertanyaan kepada KKP, yakni terkait apa saja yang menjadi indikator keberhasilan implementasi dari Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang digunakan KKP serta bagaimana cara KKP mengukur dampaknya terhadap pelestarian sumberdaya ikan dan peningkatan kesejahteraan nelayan?
Menurutnya, masih ada beberapa kebijakan yang kurang menguntungkan bagi para nelayan, khususnya bagi nelayan-nelayan lokal. Dalam rapat tersebut ia memberi contoh kondisi nelayan di Banten I, dimana banyak nelayan lokal yang ditangkap oleh polisi karena tidak mematuhi kebijakan yang justru dirasa kurang menguntungkan bagi nelayan tersebut.
“Saya sebagai anggota DPR RI yang mewakili daerah Banten l, karena di daerah kami nelayan-nelayannya ini (mohon maaf) pendidikannya rendah, mereka ini banyak ditangkap pak, terutama di daerah Lebak dan Pandeglang. Banyaknelayan yang ditangkap oleh polisi karena dianggap membeli BBM ilegal,” kata Arif menjelaskan.
Karena kenapa, pada saat mereka mendaftarkan perahu untuk didaftarkan di dinas, prosesnya itu lama sekali keluarnya. Nelayan ini butuh makan, karena prosesnya lama, jadi mereka akhirnya tetap melaut. Mereka membeli BBM ke SPBU yang ada di luar, dan ujung-ujungnya ditangkap oleh polisi karena dianggap membeli BBM dari luar,” imbuhnya dengan tegas.
Menurtnya proses pendaftaran yang memakan waktu cukup lama menjadi hal yang sangat merugikan bagi para nelayan. Arif juga mengajukan agar KKP membuat strategi lain yang dapat memudahkan nelayan.
“Padahal menurut saya, KKP juga bisa membuat loket-loket atau tempat-tempat untuk nelayan di daerahnya masing-masing, supaya proses izin perahu ini bisa dipercepat,” tuturnya.
Sulitnya nelayan mendapatkan surat izin dari dinas merupakan kelalaian pemerintah dalam mengayomi dan menyediakan kebutuhan masyarakat. Arif mengatakan, di beberapa tempat tertentu proses pengurusan izin tidak memakan waktu yang lama seperti yang terjadi di Banten.
Dia pun menduga bahwa dalam proses ini pasti ada oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan kondisi tersebut, dan hal ini harus segera diselesaikan oleh KKP.
“Ini harus mendapatkan penanganan khusus pak, kasian nelayan-nelayan ini diperas. Kalau menurut saya, ini kan pasti ada oknum. Karena kalau saya tanyakan ke beberapa teman, ini bisa ada yang keluar seminggu, dua minggu dan sebulan paling lama, tapi kasus di Banten ini bisa sampai enam bulan,” ungkapnya.
“Ini haru smenjadi perhatian dari menteri KKP, termsuk kaitannya dengan digitalisasi. Nelayan saja untuk membeli HP susah pak, ini harus ada barcode dan lain-lain pada saat mereka membeli BBM,” jelasnya menambahkan.
Tidak hanya itu, dalam agenda rapat tersebut Arif juga menyoroti persoalan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PHSL). Arif meminta agar ke depannya ada ruang sidkusi yang lebih mendalam untuk membahas terkait PSHL.
“Saya berharap memang ada semacam FGD untuk membahas terkait Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PHSL), karena kita harus benar-benar tau di mana posisinya, kajiannya apa ini kan harus diberi tahu. Jangan sampai kementerian KKP sebagai mitra kami, dan kami selaku mitranya tidak tahu sama sekali mengenai tentang PSHL ini,” ujarnya.
Mengenai persoalan Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PHSL) arif menekankan tentang adanya konflik kepentingan dalam pengelolaannya. Dalam rapat tersebut ia menanyakan terkait antisipasi potensi konflik kepentingan dalam Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut (PHSL. Mengingat nilai ekonominya sangat tingggi. Selain itu dia juga menegaskan pertanyaan terkait mekanisme pencegahan korupsi dan nepotisme dalam pemberian izin pemanfaatan hasil sedimentasi laut.
Menanggapi beberapa permasalahan tersebut, Arif menilai bahwa KKP merupakan salah satu Kementerian yang akan bertanggung jawab terhadap target Indonesia Emas 2045. Karena kemudahan nelayan-nelayan untuk memperoleh perizinan melaut dan menghasilkan ikan-ikan laut yang bergizi akan berdampak pula dengan kecerdasan anak bangsa.
Dengan tegas, dalam rapat tersebut Arif mendukung adanya peningkatan anggran untuk KKP, guna mendorong peningkatan fasilitas khususnya untuk daerah.
“Kami Fraksi Nasdem melihat luasnya laut kita dan beratnya tugas kementerian KKP yang juga punya tanggung jawab terhadap target Indonesia Emas 2045 terutama tentang makanan gratis, dan ikan adalah salah satu faktor yang membuat orang menjadi cerdas, maka kami partai Nasdem pasti sangat mendukung sekali agar anggaran KKP ini ditingkatkan,” kata Arif.
“Karena dari sisi pelabuhannya masih kurang, fasilitas lain juga masih kurang, terutama edukasi terhadap nelayan-nelayan tradisonal juga masih kurang. Ini harus banyak kerja-kerja yang dilakukan oleh KKP dalam rangka membangun bangsa ini. Maka Fraksi Nasdem jelas mendukung peningkatan anggaran KKP,” tegasnya.
(Dhea oktaviana)
Discussion about this post