Pada masa ketika lidah-lidah penuh dusta menyanyikan kebenaran, ketika kebijaksanaan terjebak di labirin kekuasaan, dan ketulusan dijadikan lelucon belaka, kisah Angling Dharma terasa seperti dongeng usang yang tak lagi punya tempat di tengah gelak tawa para pemimpin palsu. Ia, seorang raja yang bisa memahami bahasa binatang, kini terduduk diam di sudut istananya. Sayangnya, di era ini, kemampuan memahami hati manusia tampaknya jauh lebih langka ketimbang sekadar mendengarkan bisikan burung gagak di pagi buta.
Angling Dharma, yang dulunya disegani sebagai teladan kebijaksanaan dan keadilan, merasa dirinya kian tak berdaya di hadapan arus zaman yang gemerlap oleh tipu muslihat dan keculasan. Di masa kini, kebijaksanaan yang ia pegang erat hanyalah bayangan cermin yang buram, sementara di luar sana, manusia saling berlomba menjadi penguasa atas panggung kebohongan.
### **Keputusan Sulit: Bicara Benar atau Diam Saja?**
Angling Dharma, yang bisa mengerti bahasa semua makhluk, kini kian kebingungan. Apa gunanya memahami bahasa ular, jika bahasa para manusia lebih licik dan berbisa dari ular yang paling berbisa sekalipun? Apa gunanya bisa berbicara dengan burung merak, jika kata-kata manusia lebih penuh tipu daya dari bulu-bulu indah yang menipu mata? Dalam istananya, ia termenung, merenungi kemampuannya yang kini tak lagi relevan.
Dulu, para penasehat selalu datang kepadanya untuk meminta petuah. Sekarang? Mereka lebih memilih datang kepada tukang ramal yang pandai mengucapkan kata-kata manis, menghibur hati dengan prediksi palsu. Mereka lebih suka mendengar janji-janji kosong daripada kebenaran pahit yang disampaikan oleh Angling Dharma.
“Wahai Raja yang bijak, mengapa engkau tak turun ke alun-alun dan bicara dengan rakyatmu?” tanya sang pelayan setia. Angling Dharma tersenyum pahit, “Untuk apa? Mereka tak lagi ingin mendengar suara kebenaran. Mereka lebih suka mendengarkan kebohongan yang diucapkan dengan suara merdu dan lembut. Jujur, bagi mereka, hanyalah sebuah kata kuno yang penuh beban.”
### **Bahasa Binatang yang Lebih Jujur dari Manusia**
Di luar istana, Angling Dharma masih bisa mendengar suara-suara hewan. Di atas cabang pohon, burung gagak berkata, “Mereka menyebut kami pembawa pertanda buruk, padahal kami hanya berkata jujur. Manusia itu lucu, mereka lebih takut pada kebenaran daripada pada kematian.”
Kucing liar yang biasa berkeliaran di sudut-sudut kota berkata, “Wahai Angling Dharma, jikalau engkau bisa mengerti bahasa kami, bisakah engkau mengajari manusia bagaimana caranya berkata jujur? Sepertinya lidah mereka sudah kehilangan kemampuan itu. Setiap kata yang keluar hanyalah demi keinginan dan nafsu belaka.”
Angling Dharma hanya bisa menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin ia bisa mengajarkan manusia untuk jujur, jika kebenaran tak lagi punya makna? Ia bisa memahami suara seekor anjing, tetapi bagaimana caranya memahami keinginan manusia yang selalu berubah-ubah, tak pernah puas, dan penuh nafsu untuk berkuasa?
### **Raja yang Terasing di Kerajaannya Sendiri**
Di balik megahnya istana, di tengah alun-alun yang sepi, Angling Dharma tahu, ia bukan lagi raja. Ia hanya bayangan dari masa lalu yang berusaha bertahan di dunia yang tak lagi butuh kejujuran dan kebijaksanaan. Rakyatnya tak lagi peduli pada kepemimpinan yang adil. Mereka hanya menginginkan seseorang yang bisa memanipulasi kenyataan, memberikan mereka harapan palsu yang meninabobokan pikiran.
“Lihatlah, di mana-mana orang-orang berteriak meminta pemimpin yang tegas dan berani. Tapi mereka lupa bahwa keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan menimbulkan kehancuran. Semua kebijaksanaan yang kutumpuk selama bertahun-tahun kini hanya dianggap dongeng belaka,” bisik Angling Dharma kepada dirinya sendiri.
Seorang pejabat istana datang dan berkata, “Paduka, mengapa tidak mengadakan pesta rakyat? Rakyat butuh sesuatu yang menghibur. Mungkin pertunjukan atau tari-tarian bisa membuat mereka senang?”
“Mengapa harus berpura-pura? Kebahagiaan semu hanyalah candu yang akan membuat mereka lupa pada masalah nyata. Aku tidak ingin memberikan ilusi kebahagiaan,” jawab Angling Dharma.
### **Akhir dari Kebijaksanaan di Zaman Kebohongan**
Pada akhirnya, Angling Dharma menyadari, kekuatannya yang dulu dianggap anugerah kini tak lebih dari sebuah keanehan yang tak berguna. Di tengah para manusia yang gemar bersilat lidah, kemampuan berbicara dengan binatang menjadi sesuatu yang lebih dianggap konyol daripada bijaksana.
Hari itu, Angling Dharma memutuskan untuk keluar dari istananya, meninggalkan kerajaannya. Ia berjalan menuju hutan, di mana burung-burung, ular, dan binatang lain menyambutnya. Setidaknya, mereka masih berbicara jujur, walau kadang menakutkan dan menyakitkan. Di sana, Angling Dharma bisa berbincang dengan serigala tanpa harus khawatir ditusuk dari belakang oleh senyuman manis.
Sebelum pergi, ia menoleh ke istana megahnya, “Selamat tinggal, istana yang dipenuhi kata-kata manis tanpa makna. Selamat tinggal, rakyat yang tak lagi tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan selamat tinggal, dunia manusia yang lebih rumit dari bahasa burung gagak di malam yang gelap.”
Di masa yang hanya menganggap kebohongan sebagai kebenaran baru, Angling Dharma adalah sosok yang terlalu tua, terlalu jujur, dan terlalu naif. Maka ia memilih untuk berbicara dengan hewan, di mana kejujuran masih menjadi bahasa utama, dan tipu muslihat hanya permainan yang dihindari.
Karena pada akhirnya, mungkin manusia lebih baik berbicara dengan diri mereka sendiri di depan cermin. Siapa tahu, cermin itu bisa menunjukkan refleksi kebohongan yang mereka percayai sebagai satu-satunya kebenaran yang ada.
Discussion about this post