“Saya cek ini masih di angka 41 persen penggunaan produk dalam negeri, masih 41 persen untuk kabupaten dan kota, masih kecil. Artinya, selain itu produk-produk impor, hati-hati,” kata Jokowi dikutip dari berita sebelumnya, Rabu (10/7).
Lantas, mengapa produk lokal tidak menjadi pilihan utama hingga saat ini?
Produk lokal tidak kalah kualitasnya dengan produk asing. Dari sisi harga pun, produk lokal cenderung lebih murah dari produk impor/asing. Anehnya, sisi positif produk lokal ini belum bisa berbanding lurus dengan minat konsumen. Artinya, produk lokal kita belum menjadi pilihan. Apa sih penyebabnya?
1. Klaim yang berlebihan
Pengenalan produk lokal sering kali terkesan ‘lebay’, sehingga menimbulkan over claim. Lucunya lagi, klaim berlebihan terhadap produk tersebut tidak disertai dengan sertifikasi yang menunjukkan keabsahan dari klaim tersebut.
Contohnya produk organik. Produsen bisa saja mengklaim bahwa produknya terbuat dari bahan-bahan organik dan sustainable. Namun tanpa adanya sertifikasi tentu akan menimbulkan keraguan dalam diri konsumen.
2. Keraguan terhadap kualitas produk lokal
Konsumen cenderung percaya produk asing lebih berkualitas. Mengapa? Sebab produksi manufaktur di luar negeri lebih terstandarisasi daripada Indonesia. Meski terkesan agak konyol, namun begitulah faktanya. Konsumen lokal justru meragukan kualitas produk dalam negerinya sendiri.
Produsen harus bisa mengedukasi dan membangun mindset konsumen, bahwa produk lokal tidak selalu buruk. Bahkan, banyak sekali produk UKM yang berkualitas dan mampu bersaing dengan produk asing.
3. Plagiarisme tinggi, produk kurang original
Apa sih yang tidak ditiru di Indonesia? Ketika ada produk yang lagi booming di pasaran, tidak lama kemudian akan bermunculan pesaing-pesaing baru. Fenomena ini terjadi hampir di semua kategori produk, baik kuliner maupun fashion.
Untuk produk fashion misalnya, banyak sekali beredar baju-baju, sepatu dan tas dengan desain yang sama dari produk asing branded. Meski produk tiruan terbuat dari bahan dan desain yang bagus, namun tidak serta-merta mampu menarik minat konsumen untuk membelinya. Bahkan praktik plagiarisme produk ini justru menurunkan kreativitas dan orisinalitas produk.
4. Target pasar belum jelas
Keterbatasan budget pada bisnis UKM sering kali mendorong produsen untuk memasarkan produk secara ‘serampangan’, tanpa menentukan target pasar yang ingin dibidik. Strategi ini justru merupakan kesia-siaan dan hanya membuang waktu serta energi saja.
Pemasaran yang random tanpa target pasar yang jelas tidak akan efektif, sehingga hasil yang diperoleh sering kali jauh dari harapan. Alih-alih mampu meningkatkan penjualan, justru tidak mendapat feedback sama sekali.
Berbeda apabila produsen mampu memasarkan produk secara lebih fokus pada target pasar yang akan dibidik saja. Sebab mereka adalah pasar potensial yang kemungkinan besar memberikan respon positif terhadap strategi pemasaran yang dilakukan.
5. Kemasan terkesan apa adanya
Tak bisa dipungkiri bahwa kendala modal menjadi alasan klasik bagi pelaku UKM. Dampaknya bahan-bahan yang dipilih berharga murah untuk menekan biaya produksi, termasuk untuk kemasan produk. Banyak sekali produk lokal yang dikemas ala kadarnya, yang bisa mempengaruhi kualitas dan brand produk itu sendiri.
Misalnya produk keripik tempe. Produk camilan nan gurih ini masih banyak ditemukan di pasaran dengan kemasan plastik seadanya, jauh dari kesan eksklusif. Risikonya tentu saja penurunan kualitas produk, di mana produk mudah remuk dan melempeng. Seenak apapun keripik tempe apabila telah mengalami penurunan kualitas, tentu konsumen enggan untuk membelinya.
6. Kurang konsisten
Menjadi konsisten itu sulit. Itulah yang dialami oleh pelaku UKM. Mereka mengerjakan sendiri semua prosesnya dari produksi hingga pemasaran. Jika pun ada tim kerja, itu pun hanya lingkup kecil saja. Keterbatasan sumber daya ini menjadikan pemasaran produk tidak konsisten.
Akibatnya, konsumen bertanya-tanya, apakah produk tersebut masih diproduksi dan beredar di pasaran atau tidak? Informasi produk yang tidak secara kontinu sampai ke konsumen, menimbulkan kebingungan akan ketersediaan produk tersebut di pasaran. Alhasil, konsumen tidak tahu harus kemana untuk menemukan dan membeli produk tersebut.
7. Minim brand story
Banyak produk lokal yang beredar di pasaran masih minim brand story, alias dipasarkan tanpa label brand sama sekali. Banyak yang bahkan tidak mencantumkan izin edarnya. Padahal, brand story penting untuk disampaikan kepada konsumen, meski bisnis yang dijalankan hanya skala mikro atau bahkan ultra mikro.
Sebab konsumen bisa mengenal produk baik dari asal produksi, merek yang membedakan dengan produk lain, dan juga legalitas produk tersebut. Brand story yang minim justru menyulitkan konsumen untuk mengenal produk lebih dalam. Bagaimana konsumen menjadikan produk lokal tersebut pilihan, apabila mereka tidak mengenalnya?
Discussion about this post