“Hidup hanya sekali, jadi jangan sampai ada penyesalan sama sekali”. Ya ungkapan tersebut jadi tren gaya hidup anak muda yang sudah populer. Penganut ungkapan “Hidup hanya sekali”, biasanya hidup tanpa perhitungan dan perencanaan yang matang dari sisi apapun, termasuk keuangan. Itu mengapa mereka berperilaku lebih konsumtif, impulsif, dan boros. Bahkan, banyak dari mereka nggak memiliki tabungan.
Padahal, nilai-nilai ungkapan tersebut sebenarnya nggak melulu salah. Dalam situasi-situasi tertentu, terkadang kita memang perlu nekat saja seperti kebanyakan penganut ungkapan itu. Apalagi pada situasi-situasi yang sudah tidak bisa diharapkan atau peluangnya kecil.
Namun, terkait keuangan, saya rasa terlalu berisiko kalau hidup ini dijalani tanpa perencanaan sama sekali. Setidaknya, kita harus punya tabungan kalau missal amit-amint jabang bayi ada hal buruk terjadi di kemudian hari.
“Hidup hanya sekali” vs Menabung
Berbicara soal ungkapan “hidup hanya sekali” vs menabung di kalangan anak muda, khususnya di rentang usia 20-an, rasanya kita perlu membagi ke dalam dua kelompok berdasarkan latar belakangnya. Kelompok pertama, mereka yang total: impulsive, konsumtif, minim pertimbangan. Kelompok kedua, mereka yang mengutamakan menabung, terkesan ngirit, dan penuh perhitungan.
Untuk penganut “hidup hanya sekali”, mereka biasanya berangkat dari keluarga yang pondasi keuangannya kokoh. Misal, anak-anak crazy rich yang kalau uangnya habis ya tinggal minta lagi. Mereka tidak perlu pusing-pusing menabung, memperkirakan pengeluaran, atau memikirkan masa depan karena masih ada orang tua yang siap support. Bahkan, urusan menabung atau mempersiapkan masa depan terkadang semua sudah diurus oleh orang tua mereka.
Sementara, kelompok kedua adalah anak-anak muda yang mengutamakan menabung. Biasanya mereka berasal dari kelas menengah atau menengah ke bawah. Mereka bukan anak orang kaya. Kedua orang tua mereka tidak memberi support finansial secara penuh. Jadi, setiap pengeluaran mau tidak mau harus diperhitungkan matang-matang dan harus menabung.
Sebagai anak muda di pertengahan usia 20-an, dua kelompok anak muda di atas sangat sering saya jumpai. Ada beberapa teman saya yang jadi penganutnya. Di sisi lain, ada juga yang memprioritaskan menabung dan agak ngirit, sampai yang ngirit parah. Bahkan, cenderung mencekil (sangat pelit) kalau kata orang Jawa.
Beberapa kali saya terlibat obrolan dengan mereka. Menariknya, teman-teman penganut “hidup hanya sekali” tetap menggarisbawahi untuk tetap punya kontrol. Artinya, mereka memang menganut, tapi ada batasan alias tidak berlebihan. Toh, mereka mulai menyadari, gaya “hidup hanya sekali” tidak bisa selamanya mereka jalani.
Lewat obrolan itu saya jadi semakin yakin kalau ungkapan tersebut sama sekali nggak relate untuk anak muda yang tidak berangkat dari keluarga berprivilese. Anak muda yang berprivilese saja tidak yakin bisa menganut selama-lamanya, apalagi anak muda yang biasa-biasa saja.
Saya juga sempat ngobrol dengan kawan-kawan yang rajin menabung. Mereka sebenarnya juga percaya kalau hidup hanya sekali dan uang bisa dicari. Hanya saja, proyeksi masa depan mereka masih terlalu abu-abu. Itu mengapa mereka lebih memilih untuk menabung, jaga-jaga kalau nanti ada hal buruk terjadi.
Sebenarnya saya hanya takut banyak anak muda terlalu silau dengan gaya hidup ini. Memang ungkapan tersebut menawarkan kenyamanan di masa sekarang ini. Namun, masa depannya begitu rapuh. Apalagi bagi mereka yang tidak punya “backingan” atau pondasi terutama finansial yang kuat.
Akan tetapi, pada akhirnya saya hanya bisa bilang, hidup hanya sekali atau menabung, semua kembali ke diri masing-masing. Paling penting, mau hidup hanya sekali atau tidak, jangan lupa untuk membuat perancangan finansial yang matang. Karena kalau tidak, percaya deh, berantakan masa depan kalian.
Discussion about this post