Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam sejarah kebudayaan Indonesia, kerap ditempatkan dalam perbincangan tentang polemik kebudayaan. Muncunya perbalahan yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Prae-Indonesia”. Dikatakan bahwa, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu zaman Pra-Indonesia dan Zaman Indonesia.
Zaman Pra-Indonesia dimasukannya sebagai zaman jahiliyah, zaman yang penduduknya masih berpikir provinsional, statis, dst. Sedangkan zaman Indonesia adalah zaman yang masyarakatnya sudah mulai berpikir tentang Indonesia, tentang perlunya persatuan Indonesia.
Ibarat pemisahan zaman prasejarah yang belum mengenal tulisan, dan zaman sejarah yang sudah mengenal tulisan, itulah yang terjadi pada sejarah Indonesia.
Oleh karena itu, zaman Indonesia sebenarnya tidak ada hubungan lagi dengan zaman Pra-Indonesia. Menurut STA, sejarah Indonesia dimulai pada abad ke-19, karena sebelum itu, belum ada pemikiran tentang Indonesia.
Banyak pandangan STA dalam esai itu yang memang kontroversial. Itulah sebabnya, esai STA ini mendapat cukup banyak kritikan. Setidak-tidaknya, tanggapan datang dari Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Armijn Pane, Ki Hadjar Dewantara, dan tokoh-tokoh intelektual Indonesia waktu itu. Bahkan, Poerbatjaraka menyebut cara berpikir STA tentang sejarah Indonesia sebagai waringin sungsang, yaitu pohon beringin yang akarnya ke atas.
Perbelahan itu lalu meluas menjadi perdebatan pemikiran tentang kebudayaan Indonesia dan bagaimana bangsa Indonesia menyikapi kebudayaan masa lalu dalam berhadapan dengan kebudayaan baru.
Simpang siur pemikiran itu terjadi bukan dalam sebuah forum seminar atau diskusi publik, melainkan dalam esai-esai yang dimuat di berbagai media massa yang terbit saat itu. Achdiat Karta Mihardja lalu menghimpunya kembali dalam sebuah buku berjudul polemik kebudayaan yang terbit tahun 1948. Jadilah perbelahan yang terjadi pertengahan dasawarsa 1930-an itu hingga kini disebut sebagai polemik kebudayaan.
Sesungguhnya, kontroversi STA tidak cuma menyangkut gagasan tentang kebudayaan Indonesia, melainkan juga pandangannya tentang sejumlah konsep kesusastraan dan bahasa Indonesia. Tetapi dengan begitu, pengaruh STA berdampak begitu luas. Bahkan, sampai sekarang warisan pemikirannya masih dapat ditemukan dalam bidang pendidikan, kesusastraan, bahasa, dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
Discussion about this post