Pilkada, ajang demokrasi yang seharusnya menjadi pesta rakyat, kini berubah menjadi acara yang lebih mirip festival mewah bagi para elit politik. Begitu banyaknya dana yang digelontorkan untuk kampanye, pemasangan baliho, hingga acara-acara yang tak kunjung selesai, namun sayangnya, partisipasi masyarakat dalam memilih justru semakin menurun.
Miliaran untuk Baliho, Ratusan untuk Nyoblos?
Tahun ini, banyak calon kepala daerah yang mengeluarkan anggaran yang tak terhitung jumlahnya hanya untuk menempelkan wajah mereka di setiap sudut kota. Bukan hanya wajah, kadang mereka juga menghibur dengan slogan-slogan keren, seolah-olah warga yang butuh makan lebih memilih ‘merakyat’ atau ‘pro rakyat’ daripada makanan sehat dan fasilitas publik yang layak. Kalau pilkada ini hanya dilihat dari biaya kampanye saja, bisa dibilang, rakyatnya tidak dibutuhkan. Yang dibutuhkan adalah pemilih yang bisa dihitung dengan kalkulator — kalau tidak, yang penting biaya sudah keluar dengan ‘efektif’.
Sementara itu, di kotak suara, pemilih hanya bisa memilih antara dua opsi: memilih karena rasa tanggung jawab atau memilih karena sudah malas memilih. Keadaan ini menciptakan ironi. Di satu sisi, biaya yang dikeluarkan untuk pilkada terbilang sangat tinggi. Di sisi lain, masyarakat seolah tak tertarik untuk datang ke TPS. Bayangkan, dengan biaya miliaran yang dikeluarkan untuk iklan politik, media sosial, dan konsultasi ahli strategi politik, hasilnya ternyata tidak menjamin pemilih datang ke TPS.
Baliho, Bukan Warga
Kampanye yang disemarakkan dengan baliho-baliho besar tidak pernah menunjukkan bahwa yang lebih penting adalah siapa yang akan memperbaiki jalan rusak atau mengurangi biaya hidup. Bahkan, partisipasi masyarakat dalam Pilkada semakin menurun. Menurut berbagai laporan, meskipun ada peningkatan penggunaan teknologi untuk mengajak pemilih datang ke TPS, hal itu tetap tidak membangkitkan antusiasme masyarakat untuk memberi suara.
Tentu saja, para politisi tidak terlalu peduli dengan hal ini. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana menciptakan ‘rangkaian acara’ yang luar biasa, seolah-olah pilkada ini adalah ajang besar yang layak disaksikan seperti konser musik. Mereka bahkan siap mengganti segala biaya dalam mengadakan pertemuan kampanye, dari katering hingga sistem digital yang mengirim pesan ke ponsel masing-masing warga. Namun, yang benar-benar mereka lupakan adalah hal sederhana: warga yang lelah dan bingung tidak akan datang ke TPS, meskipun mereka sudah diberi satu ton hadiah, voucher, dan janji manis.
Keterlibatan Rakyat: Dari Pilihan Menjadi Pilihan Hidup
Puncak dari ironi ini adalah kenyataan bahwa banyak dari calon kepala daerah tak benar-benar tahu apa yang diinginkan rakyat, atau lebih parah lagi, tidak peduli. Mereka tidak terlibat dalam kehidupan sehari-hari warga; mereka hanya peduli soal angka-angka dalam survei yang menunjukkan tingkat kepuasan. Pemilih, yang sudah lelah dengan janji-janji kosong, akhirnya memilih untuk berdiam diri di rumah, menikmati kebebasan untuk tidak terlibat dalam kerumitan politik lokal.
Padahal, yang sebenarnya dibutuhkan bukan hanya anggaran kampanye yang besar, tetapi pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu riil yang dihadapi masyarakat, seperti infrastruktur yang buruk, biaya pendidikan yang terus meroket, atau masalah kesehatan yang tidak pernah selesai. Mungkin, jika para calon lebih sering turun langsung mendengarkan keluhan warga, mereka akan sadar bahwa suara rakyat bukan hanya bisa dibeli dengan baliho besar dan janji-janji palsu.
Kesimpulan: Pilkada, Pesta Mewah Tanpa Rakyat
Pilkada, yang semestinya menjadi momen rakyat untuk memilih pemimpinnya, kini berubah menjadi pesta mewah bagi politisi dan pengusaha. Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk kampanye, namun diimbangi dengan rendahnya partisipasi masyarakat, menciptakan fenomena yang ironis. Di satu sisi, kita melihat pengeluaran kampanye yang fantastis, di sisi lain kita melihat kotak suara yang kosong. Akhirnya, pilkada hanya menjadi ajang selebrasi bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan, sementara masyarakat yang sejatinya menjadi pemegang suara, memilih untuk tidak terlibat sama sekali.
Mungkin saatnya kita mulai berpikir: jika biaya pilkada bisa lebih efisien, dan politik bisa lebih merakyat, partisipasi masyarakat pun akan meningkat. Namun, hingga saat itu tiba, mungkin kita akan terus menyaksikan pesta besar yang hanya diketahui oleh baliho dan poster, bukan oleh mereka yang sebenarnya paling berhak menentukan masa depan daerah.
Discussion about this post