Di negeri penuh kebijakan inovatif ini, pemerintah tengah menghadapi dilema besar: subsidi LPG bikin pusing, harga di lapangan semrawut, sementara kayu bakar dilarang karena bikin hutan botak. Rakyat pun bingung, harus memasak pakai apa?
Di satu sisi, pemerintah ingin memastikan LPG 3 Kg tetap murah dan tepat sasaran. Subsidi triliunan rupiah digelontorkan agar rakyat bisa menikmati api tanpa harus jual perabotan rumah. Tapi di sisi lain, distribusi gas melon ini lebih berliku daripada drama sinetron. Dari agen ke pangkalan, lalu ke pengecer, akhirnya tiba di tangan rakyat dengan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya.
“Kenapa bisa begini?” tanya pemerintah, seraya menggaruk kepala yang makin botak akibat pusing.
Maka, lahirlah solusi terbaru: memperpendek rantai distribusi dengan menjadikan pengecer sebagai pangkalan resmi. “Cukup daftar NIB, semua masalah selesai!” kata pejabat penuh percaya diri. Tapi siapa sangka, di lapangan, antrean LPG masih seperti antre sembako gratis.
Lalu ada solusi lain, yaitu beralih ke energi alternatif. Tapi tunggu dulu, pakai apa?
- Kayu bakar? Tidak bisa! Itu namanya illegal logging, bisa merusak hutan.
- Kompor listrik? Tagihan bisa bikin jantungan, belum lagi kalau tiba-tiba mati lampu.
- Biogas? Ide bagus, tapi kotoran sapi tidak bisa diproduksi massal dalam semalam.
Maka, rakyat kembali ke solusi klasik: bersabar dan berdoa agar dapur tetap ngebul.
Di tengah semua ini, satu hal yang pasti: pemerintah tetap berusaha mencari solusi, meskipun kadang solusinya malah menambah masalah baru.
Hidup subsidi! Hidup hutan lestari! Hidup rakyat yang selalu tabah!
Discussion about this post