Seiring berjalannya waktu, Indonesia semakin menunjukkan perkembangan budaya yang sulit untuk tidak kita kagumi: parade sound system. Bukan hanya sekadar fenomena sosial, parade ini telah menjadi semacam lomba non-formal yang mengukur siapa yang paling hebat menggelar konser dadakan di jalanan kampung. Banyak yang berpendapat bahwa parade ini adalah ekspresi kreativitas, tapi jika kita menggali lebih dalam, mungkin ada sesuatu yang lebih menarik: Apakah parade sound ini menunjukkan kualitas SDM yang menurun?
Mari kita mulai dengan observasi sederhana. Dalam parade sound, kemampuan teknis peserta tidak dinilai dari seberapa baik mereka memahami teknik akustik, atau seberapa harmoni suara yang mereka hasilkan, tetapi dari seberapa besar amplifier mereka dan berapa kuat bass menghancurkan jendela rumah tetangga. Logikanya sederhana: Kalau suaramu tidak cukup keras untuk mengguncang perabotan seisi kampung, kamu bukan siapa-siapa.
Fenomena ini bisa dibilang sebagai cermin SDM kita yang unik. Mungkin di dunia industri kita mengalami krisis tenaga ahli dan inovator, tetapi di dunia parade sound, kita mengalami ledakan “pakar volume tinggi.” Ini adalah talenta lokal yang fokus tidak pada efisiensi, tetapi pada desibel maksimal.
Parade Sound: Inovasi atau Invasi?
Fenomena ini telah menggeser paradigma. Di saat negara-negara maju berlomba-lomba mengembangkan teknologi hijau dan otomasi berbasis AI, kita justru merayakan siapa yang paling sukses mengganggu tidur siang warga. Di sinilah SDM kita menemukan ladang inovasi yang berbeda: Bagaimana cara memaksimalkan keributan dengan modal tape rusak dan subwoofer bekas.
Dalam konteks pendidikan, mungkin kita tidak banyak menghasilkan ilmuwan atau insinyur, tetapi parade sound telah memproduksi generasi baru yang ahli dalam menyambung kabel tanpa konslet. Dan tentunya, siapa lagi yang bisa menyulap acara arisan ibu-ibu menjadi festival EDM kalau bukan SDM kita yang cekatan dalam urusan bass booster?
Produktivitas Berbasis Kebisingan
Salah satu alasan parade sound berkembang pesat adalah karena tidak ada penghalang struktural—tidak perlu lisensi, apalagi SOP. Siapa pun bisa bergabung dalam ajang ini hanya bermodalkan speaker berukuran kulkas dan motor tua. Bahkan, semakin bising kamu, semakin tinggi rasa hormat yang kamu dapatkan dari lingkungan sekitar. Kebisingan telah menjadi metrik baru untuk menilai kesuksesan.
Mungkin inilah mengapa beberapa orang beranggapan bahwa fenomena ini adalah tanda bahwa kita sedang mengalami krisis SDM. Alih-alih mengejar produktivitas berbasis ilmu, parade sound mempromosikan “produktivitas kebisingan”—semakin bising hidupmu, semakin berharga keberadaanmu. Di tengah parade, konsep seperti kolaborasi dan inovasi kalah pamor dibanding kemampuan menggedor dada dengan dentuman bass.
Dari Parade Sound Menuju Masa Depan Bersuara
Sebenarnya, bukan tidak mungkin parade sound ini bisa menjadi katalis perubahan. Siapa tahu, di masa depan, Indonesia bisa menjadi pusat industri speaker dan sound system kelas dunia! Kita bisa menawarkan kursus teknis bagi peserta parade, mungkin dengan judul “Manajemen Sound dan Diplomasi Tetangga: Cara Mendapatkan Pahala Meski Mengganggu Tidur Warga.”
Bagaimana jika fenomena ini malah mendorong perbaikan ekonomi kreatif? Dengan SDM yang fokus mengembangkan sound system paling brutal, masa depan bangsa ini tidak perlu lagi mengkhawatirkan produktivitas kerja, karena suara kita akan didengar—secara harfiah. Mungkin, ke depannya, parade sound ini bisa diekspor sebagai cabang olahraga baru di SEA Games: Lomba Bass Terkeras.
Penutup: Saat Kebisingan Jadi Budaya
Pada akhirnya, fenomena parade sound adalah representasi cerdas dari bangsa yang mampu bertahan di segala keterbatasan. Siapa peduli dengan pendidikan tinggi atau soft skill, ketika yang benar-benar penting adalah kemampuan menyulap jalanan menjadi arena konser dadakan? Bukankah ini bentuk kreativitas yang luar biasa?
Mungkin benar bahwa fenomena ini menunjukkan krisis SDM di sektor-sektor formal. Tetapi siapa yang peduli dengan angka-angka statistik, ketika setiap sore kita bisa merasakan dentuman bass seolah-olah seluruh dunia sedang berpesta? Pada akhirnya, bukankah semua orang hanya ingin didengar? Dan Indonesia, dengan parade sound-nya, telah memastikan bahwa kita—sebagai bangsa—akan selalu terdengar di mana pun.
Discussion about this post