Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni baru-baru ini menyatakan niatnya untuk menyediakan 20 juta hektar lahan sebagai bagian dari upaya ketahanan pangan dan energi. Pernyataan ini langsung menarik perhatian banyak pihak, salah satunya Arif Rahman, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Nasdem. Arif menanggapi dengan penuh kehati-hatian, meskipun menyatakan dukungannya terhadap Asta Cita yang digagas Presiden Prabowo Subianto.
Dukungan dan Kewaspadaan Terhadap Asta Cita
Arif menekankan bahwa dirinya sangat mendukung inisiatif Asta Cita, yang dianggap sebagai upaya penting untuk memperkuat kemandirian Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa segala rencana yang dilakukan haruslah melalui perencanaan yang matang agar tidak justru menimbulkan dampak buruk, terutama bagi kelestarian lingkungan. “Niat baik harus didukung dengan kajian yang tepat, agar jangan sampai berakhir menjadi bencana ekologis,” ujar Arif dengan tegas.
Kewajiban Indonesia Menjaga Lingkungan
Anggota DPR yang berasal dari Banten I ini juga mengingatkan pentingnya komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan, yang telah menjadi perhatian dunia internasional. Sejumlah pertemuan penting dengan tokoh-tokoh internasional, seperti Raja Charles di Inggris dan Forum G20 di Brasil, mengangkat isu deforestasi dan pentingnya menjaga keberlanjutan hutan. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya peran hutan Indonesia dalam mengendalikan suhu global, bahkan menyebut hutan Indonesia sebagai “paru-paru dunia.”
Peran Hutan Indonesia dalam Pemanasan Global
Presiden Prabowo mengungkapkan, “Hutan Indonesia telah berkontribusi selama bertahun-tahun untuk mendinginkan dunia. Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia.” Pernyataan ini direspon positif oleh Arif, yang menilai bahwa menjaga hutan Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak untuk kelangsungan peradaban dunia di masa depan.
Risiko Pengalihan Lahan Hutan untuk Pertanian dan Energi
Meski mendukung visi Presiden, Arif mengkritik rencana Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang dianggapnya berisiko tinggi, terutama jika melibatkan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan energi. Menurutnya, di tengah ancaman deforestasi yang terus berlangsung, kebijakan tersebut justru bisa memperburuk keadaan. “Indonesia telah kehilangan lebih dari 85 persen tutupan hutannya sejak tahun 2001, dan provinsi-provinsi seperti Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah merupakan penyumbang deforestasi terbesar,” ungkap Arif.
Peringatan untuk Menteri Kehutanan
Arif pun mengingatkan Menteri Kehutanan agar lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan terkait penggunaan lahan hutan. Ia khawatir, jika kebijakan tersebut diterapkan tanpa kajian mendalam, bisa memperburuk kerusakan lingkungan yang sudah ada. “Jangan sampai niat baik Presiden diterjemahkan secara instan tanpa perencanaan yang matang. Salah langkah bisa menjadi bencana besar bagi bangsa kita,” tandasnya.
Pentingnya Pemanfaatan Lahan yang Ada
Arif juga mengkritik pendekatan yang hanya fokus pada pembukaan lahan baru, tanpa mempertimbangkan potensi pemanfaatan lahan-lahan yang sudah ada dan terbengkalai. “Bukan soal membuka lahan baru, tapi bagaimana memanfaatkan lahan yang sudah ada dengan bijak, tanpa merusak cadangan hutan kita,” katanya. Ia berharap, pemanfaatan lahan yang ada bisa menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dan berdampak positif bagi ketahanan pangan dan energi, tanpa menambah beban pada ekosistem yang sudah rentan.
Kesimpulan: Kajian dan Perencanaan yang Cermat Diperlukan
Sebagai kesimpulan, Arif menekankan pentingnya perencanaan yang matang dalam menjalankan kebijakan yang melibatkan pengelolaan lahan hutan. Dengan tantangan deforestasi yang semakin besar, kebijakan semacam ini harus dilaksanakan dengan hati-hati agar tidak hanya berfokus pada hasil instan, melainkan memperhatikan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan dan peran Indonesia dalam menjaga keseimbangan global.
Discussion about this post