Kita sering kali terpukau dengan gambaran kehancuran dunia yang dibalut dalam film-film fiksi ilmiah, seperti bencana alam yang menghancurkan peradaban—gempa bumi besar, meteor yang menabrak Bumi, atau tsunami yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalurnya. Namun, ada satu skenario kiamat yang mungkin tidak terbayangkan dengan jelas: Bumi yang kehabisan oksigen (O2), dengan emisi gas rumah kaca yang merajalela, terutama karbon dioksida (CO2), yang mengambang di sekitar kita, menjadikan kematian terasa sangat dekat, bahkan dapat dirasakan lewat napas kita.
Kepunahan yang kita bayangkan sering kali berasal dari ancaman eksternal, seperti serangan alien atau tabrakan planet, yang meskipun terdengar sangat jauh dari kenyataan, tetap menakutkan. Namun, mengapa kita begitu sulit membayangkan kepunahan spesies di Bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia? Terutama oleh tindakan kita yang secara sadar merusak autotrof—makhluk hidup yang memproses CO2 menjadi O2, termasuk tumbuhan yang menjadi produsen oksigen utama bagi kehidupan di Bumi.
Mengapa Kita Tidak Bisa Membayangkan Kehilangan Sumber Oksigen?
Sebagai manusia, kita seharusnya menyadari bahwa kita adalah makhluk heterotrof—yang tidak mampu menghasilkan makanan atau oksigen sendiri dari bahan anorganik. Kita bergantung pada makhluk autotrof untuk bertahan hidup. Salah satu contohnya adalah pohon yang menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis. Namun, apa yang terjadi jika kita merusak sumber utama oksigen ini dengan cara yang tak terkendali, seperti penebangan hutan secara masif untuk kepentingan bisnis? Mengapa kita tidak cukup khawatir dengan konsekuensi jangka panjang yang akan merusak keseimbangan alam?
Bukan hanya manusia yang terdampak, tapi juga beragam spesies lain yang kini masih hidup, yang akan kehilangan tempat tinggal, sumber makanan, dan kelangsungan hidup mereka jika kerusakan alam terus berlanjut. Hal ini seringkali dipicu oleh segelintir manusia dan sistem yang berkuasa, yang membuat keputusan untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak jangka panjang bagi planet ini.
Ketidakhadiran Kesadaran Lingkungan di Tengah Masalah Besar
Ironisnya, kesadaran akan lingkungan sering kali tidak tumbuh secara alami dalam benak banyak orang. Isu lingkungan, meskipun sangat relevan dan krusial, sering kali terabaikan atau dipandang sebelah mata. Salah satu contoh nyata adalah pernyataan kontroversial dari Presiden Indonesia, yang beberapa waktu lalu mengatakan bahwa penanaman kelapa sawit yang menggunduli hutan bukanlah bagian dari deforestasi. Pernyataan ini menunjukkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap dampak serius dari pembukaan lahan untuk kelapa sawit yang dilakukan secara agresif.
Meskipun kelapa sawit adalah pohon yang memproduksi oksigen, kenyataannya kelapa sawit memiliki kemampuan serapan karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan hutan alami atau lahan gambut yang lebih kaya keragaman hayati. Penanaman kelapa sawit secara masif bukan hanya mengurangi kapasitas penyerapan CO2, tetapi juga menghancurkan ekosistem yang menjadi tempat hidup berbagai spesies. Ditambah lagi, penggunaan api untuk membuka lahan hanya menambah jejak karbon yang luar biasa besar.
Kepunahan yang Lambat Tapi Pasti: Krisis Lingkungan di Masa Depan
Kita harus mengakui bahwa krisis lingkungan yang kita hadapi bukanlah sesuatu yang akan terjadi dalam semalam. Kepunahan spesies akibat kerusakan lingkungan berjalan sangat lambat, hampir tidak terlihat, tapi pada akhirnya sangat mematikan. Sama seperti kepunahan massal yang telah terjadi di Bumi, yang dikenal dengan lima peristiwa kepunahan besar, yang kelima terjadi sekitar 65 juta tahun lalu, di mana dinosaurus punah. Beberapa ilmuwan bahkan percaya bahwa kita sedang berada dalam tahap kepunahan massal ke-6 yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang dikenal dengan istilah kepunahan Holosen atau Antroposen.
Kepunahan ini bukanlah sebuah peristiwa yang meledak secara tiba-tiba seperti yang kita lihat dalam film fiksi ilmiah. Tidak ada ledakan besar atau bencana yang terjadi dalam sekejap. Sebaliknya, kepunahan ini adalah proses yang berjalan sangat lambat, di mana spesies-spesies punah satu demi satu, dan ekosistem yang mendukung mereka perlahan hancur. Dalam waktu yang sangat lama, kita hanya akan melihat individu-individu yang tersisa, yang tidak dapat bereproduksi lagi, dan akhirnya mengarah pada kepunahan total.
Dari Kebijakan yang Kontradiktif hingga Krisis Karbon
Pernyataan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah justru semakin memperburuk keadaan. Seiring dengan penanaman kelapa sawit yang tidak terkendali, ada rencana lain yang bahkan lebih merusak: impor 200.000 ekor sapi dari Brasil untuk memenuhi kebutuhan program makan gratis. Rencana ini tidak hanya bertentangan dengan upaya Indonesia untuk menjadi negara carbon-neutral pada tahun 2060, tetapi juga menambah beban emisi karbon yang sudah sangat tinggi. Gas metana yang dihasilkan oleh sapi, yang dikenal sebagai gas rumah kaca, berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Ditambah dengan jejak karbon dari pengangkutan sapi-sapi tersebut, kebijakan ini jelas tidak sejalan dengan tujuan keberlanjutan lingkungan.
Refleksi dan Tindakan yang Harus Diambil
Sebagai individu, kita mungkin merasa kecil dan tidak berdaya untuk mengubah arah kebijakan pemerintah atau menghentikan pengrusakan alam. Namun, kita tidak boleh menyerah. Kesadaran dan tindakan kecil—seperti menggunakan transportasi umum, mengurangi penggunaan plastik, menanam pohon, atau bahkan berpartisipasi dalam kampanye lingkungan—dapat memberikan dampak besar. Selain itu, pendidikan tentang lingkungan harus ditanamkan sejak dini, agar generasi mendatang lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap kelestarian alam.
Bumi mungkin tidak akan hancur secepat yang kita bayangkan, tetapi jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan segera merasakan dampaknya. Sebagaimana lirik lagu Iwan Fals, “Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi”, kita sedang berada di ambang krisis yang tak bisa lagi kita abaikan.
Discussion about this post