Menjadi duda muda itu seperti menonton drama Korea tanpa subtitle. Kamu tahu ada plot twist yang seru, tapi bingung mau ngapain. Begitu juga dengan kehidupan asmara seorang duda muda yang lagi bimbang mau melamar perawan. Aduh, gimana ya rasanya?
Babak 1: Duda Muda, Jangan Salah Fokus
Pertama-tama, mari kita sepakat dulu. Duda muda itu bukan predikat yang gampang. Kamu bukan cuma harus menghadapi pertanyaan ala detektif dari teman dan keluarga, tapi juga harus bertahan dari stigma sosial yang kadang bikin pusing kepala. Begitu juga dengan mas Broto, 30 tahun, duda keren dengan modal tampang rupawan tapi masih aja bingung mau melamar siapa.
“Eh, Broto, jadi kapan nikah lagi?” Itu pertanyaan yang udah kayak iklan sabun cuci yang nggak pernah absen tiap hari. Tapi bukannya makin semangat, Broto malah makin galau. Maklum, trauma dari pernikahan sebelumnya masih berbekas.
Babak 2: Ketemu Perawan, Jantung Berdebar
Nah, ceritanya, Broto ketemu si Nisa. Gadis perawan desa sebelah yang manis dan lembut hatinya. Setiap ketemu, Broto berasa kayak remaja 17 tahun yang baru pertama kali jatuh cinta lagi. Ada bunga-bunga di hati, tapi juga ada cacing-cacing gelisah di perut.
“Tapi, gimana caranya ya? Apa aku nggak terlalu tua buat dia?” Begitulah monolog batin Broto tiap kali mau ngajak Nisa ngobrol serius. Meskipun cuma beda 5 tahun, bagi Broto itu kayak beda generasi.
Babak 3: Konsultasi Dengan Sobat Karib
Sebagai duda muda yang masih sehat walafiat, tentu Broto punya sahabat setia, Ucok. Nah, Ucok ini udah jadi konsultan cinta non-resmi Broto sejak zaman mereka SMA. Tiap kali ada masalah, Broto pasti curhat ke Ucok.
“Cok, gimana ya cara melamar perawan? Apa aku harus datang bawa sepeda motor atau cukup bawa martabak manis?” tanya Broto, yang merasa dilema antara jadi pria romantis atau jadi duda berkelas.
Ucok, sambil mengunyah keripik, menjawab dengan bijak. “Bro, nggak perlu ribet. Yang penting kamu jadi diri sendiri. Cewek itu suka yang tulus, nggak pake modus.”
Babak 4: Nekat Aja, Broto!
Berbekal semangat dari sahabat, Broto pun memberanikan diri. Dia datang ke rumah Nisa dengan setangkai bunga mawar di tangan kiri dan sepiring martabak manis di tangan kanan. Di depan rumah Nisa, Broto gugup, keringetan kayak abis lari marathon.
Ketika Nisa membuka pintu, Broto mengatur napas, lalu dengan suara agak gemetar dia berkata, “Nisa, aku tahu aku duda. Tapi, maukah kamu menikah denganku?”
Nisa tersenyum manis, membuat hati Broto lega. “Mas Broto, sebenarnya aku juga suka sama mas. Tapi, boleh nggak kita ngobrol dulu lebih jauh?”
Babak 5: Happy Ending atau Sebaliknya?
Akhirnya, Broto dan Nisa pun sering bertemu dan ngobrol dari hati ke hati. Mereka berbagi cerita, tawa, dan mungkin sedikit air mata. Hingga akhirnya, ketika Broto melamar untuk kedua kalinya, Nisa pun mengiyakan dengan mantap.
Kisah Broto ini membuktikan, bahwa jadi duda muda bukan akhir dari segalanya. Bahkan, mungkin itu awal dari sesuatu yang lebih indah. Asal kita berani menghadapi ketakutan dan membuka hati lagi, siapa tahu, kita bisa menemukan cinta sejati yang lebih tulus dan bermakna.
Selamat buat para duda muda di luar sana! Jangan patah semangat, karena setiap akhir adalah awal yang baru. Dan jangan lupa, selalu bawa martabak manis, siapa tahu bisa jadi jimat keberuntungan!
Discussion about this post