Di sebuah warung kopi sederhana, seorang filsuf lokal bernama Pak Bejo, duduk sambil menyeruput kopi saset. Dengan gaya seperti seorang ahli ekonomi global, ia berkata, “Kalau semua orang minum kopi saset, dunia bakal damai. Gak percaya? Lihat aja, ini murah, cepat, dan gak bikin ribet.”
Tentu saja, klaim Pak Bejo ini menuai reaksi skeptis dari teman-teman warungnya. Namun, dengan serius ia menjelaskan.
“Pertama, harga. Kopi saset itu murah, cuma tiga ribu. Bandingkan sama kopi di kafe Instagram yang harganya bisa bikin dompet menangis. Kalau orang-orang minum kopi saset, gak ada lagi demo soal kenaikan harga BBM. Dompet aman, rakyat damai.”
“Yang kedua, cepat. Seduh, aduk, minum. Gak pake drama barista salah tulis nama di gelas, gak ada antre panjang cuma buat pesan es kopi gula aren oatmilk no sugar tambah cinta. Semua jadi efisien!”
Pak Bejo melanjutkan pidatonya dengan penuh semangat, seperti orator di mimbar kampanye. “Dan yang ketiga, kopi saset itu ramah lingkungan. Cukup pakai gelas kecil, gak perlu plastik gede buat take away. Lihat tuh, laut kita penuh sampah sedotan karena orang-orang terlalu sering pesan kopi modern.”
Namun, ada yang menyanggah. Mas Wawan, ahli kopi dadakan setelah menonton satu video barista championship, mengangkat tangan. “Tapi Pak Bejo, kopi saset itu gak autentik. Rasanya standar banget, gak ada rasa cinta dari petani kopi.”
Pak Bejo tertawa kecil. “Mas Wawan, hidup ini emang gak perlu ribet. Yang penting kita minum kopi, ngobrol, ketawa. Rasa cinta? Kalau mau rasa cinta, cari jodoh, bukan kopi.”
Seketika warung kopi riuh oleh tawa. Pak Bejo menutup dengan kalimat pamungkas, “Intinya, kopi saset itu bukan cuma minuman. Ini filosofi hidup. Sederhana, murah, tapi bikin semua senang. Gak perlu drama hidup serumit kopi modern.”
Dan begitulah, warung itu tetap ramai, penuh canda, dengan aroma kopi saset yang terus mengudara.
Discussion about this post