Dalam melakonkan wayang, Ki Mantep Sudarsono mengaitkan humor dan kritik pada takaran umum, seperti satire dan sanepo. Mengkritik dengan bau politik, tetapi tidak menyakitkan hati. Bagi Ki mantep yang terpenting pihak yang dikritik tidak sampai merasa sakit hati, namun misi yang disampaikan bisa tercapai.
Misalnya, ulasan soal hukum. Di dunia ini ada empat macam hukum, yaitu hukum alat, hukum adat, hukum negara dan hukum karma. Yang bisa dijawab adalah hukum adat, hukum alam, dan hukum negara, namun hukum karma tidak bisa dijawab.
Hukum alam seperti panas matahari, dapat direkayasa. Panas terik sinar matahari dapat ditutup dengan berlindung di balik kerudung, topi atau payung. Orang bertopi tidak begitu disengat sinar matahari.
Lain halnya dengan hukum adat. Setiap desa memiliki adat tersendiri. Di desa tertentu ada upacara adat yang harus menyertakan kurban ingkung kebo atau seekor kerbau utuh. Sebagaimana diketahui, harga seekor kerbau sangat mahal. Namun, upacara adat itu masih bisa “dibohongi.” Persyaratan tersebut dapat diganti dengan ontong kembange gedang atau bunga pohon pisang yang diberi tanduk dan kaki empat. Wujud yang sudah direkayasa (diwiradati) itu bisa diartikan sebagai bentuk seekor kerbau utuh.
Hukum negara juga bisa dijawab dengan kemahiran berbicara. Seorang terdakwa bisa saja terlepas dari tuduhan dan dakwaan karena pintar berbicara atau mungkin telah diatur dengan uang. Kasih uang habis perkara.
Penonton wayang pun pasti tertawa terbahak-bahak bila mendengar uraian seperti itu. Itulah salah satu bentuk kritik yang tidak menyakitkan hati siapapun sebab, Ki Mantep Sudarsono tidak menunjukkan siapa orang yang dijadikan sasaran kritik. Namun demikian, hal-hal tersebut adalah nyata.
Hukum karma tidak bisa “diakali” dengan cara model apapun. Hukum karma adalah hukum perbuatan. Itu hukumnya Gusti Allah. Barang siapa menanam, dia akan menuai. Siapa yang telah berbuat baik, dia akan menerima kebaikan. Begitu pula sebaliknya.
Discussion about this post