Irgi Nur Fadhil, sosok yang mungkin belum pernah Anda dengar, tapi percayalah, dia ini adalah makhluk unik yang entah bagaimana berhasil menyeimbangkan hidup di antara segudang aktivitas yang tampaknya lebih banyak membuang waktu daripada menghasilkan produktivitas. Sebenarnya, siapa sih Irgi Nur Fadhil ini?
Katanya sih, dia kerja di kantor sebagai something something manager. Sebuah jabatan yang terdengar keren, tapi pada kenyataannya lebih sering terlihat di warung kopi ketimbang di ruang rapat. Bayangkan betapa bingungnya bosnya setiap kali mencari keberadaannya: “Irgi di mana?” Jawabannya hampir selalu, “Di mana-mana, Pak!” dengan emoji kopi panas.
Ada yang bilang, Irgi itu jenius. Otaknya encer, ide-idenya brilian. Saking briliannya, ide-ide itu sering kali tertumpuk rapi di dalam otak tanpa pernah dieksekusi. Dan kalaupun dieksekusi, hasil akhirnya ya gitu… sekadar jadi pembicaraan saat ngopi di sore hari, sambil menyesap kopi pahit tanpa gula yang katanya, “Biar kayak hidup, jangan manis-manis amat.”
Bahkan teman-teman sekantornya pun sudah menyerah untuk mencoba memahami aktivitasnya. Pada saat meeting, semua orang sibuk membuka PowerPoint atau laporan keuangan, sementara Irgi entah bagaimana selalu hadir dengan catatan-catatan kecil yang lebih mirip curhat pribadi ketimbang strategi bisnis. Setiap kali dia berbicara, pembahasannya selalu nyerempet ke topik yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti: “Menurut saya, kopi tubruk itu lebih menghargai proses, karena air panas dan biji kopi bertemu langsung, tanpa basa-basi.” Yah, ujung-ujungnya, meeting malah berubah jadi diskusi tentang biji kopi terbaik dari Flores.
Banyak yang berusaha menebak-nebak, sebenarnya Irgi ini kerja di kantor atau di warung kopi? Karena, kalau dilihat dari intensitas keberadaannya, warung kopi langganan sudah seperti kantor keduanya. Bahkan, saking akrabnya dengan pemilik warung, rumor beredar kalau Irgi sedang menimbang untuk investasi di warung tersebut dan merubah konsepnya menjadi co-working space ala-ala. “Nanti kita bikin area diskusi politik sama pojok literasi. Karena, ya tahu sendirilah, ide-ide besar selalu muncul di tempat kecil,” katanya dengan tatapan penuh visi.
Tetapi, ada satu hal yang membuat Irgi layak diacungi jempol—kemampuannya untuk berbicara panjang lebar tentang segala sesuatu, walaupun sebenarnya tidak ada yang benar-benar peduli. Pernah suatu hari, dia bicara soal pentingnya menggunakan kertas daur ulang di kantor, sementara semua orang sudah beralih ke digital. Sontak, semua kolega yang mendengar hanya mengangguk-angguk setuju sambil berusaha menahan tawa.
Selain itu, jangan sekali-kali terjebak dalam diskusi soal film atau musik dengan Irgi, kecuali Anda siap untuk mendengar penjelasan panjang lebar soal bagaimana industri perfilman dan musik Indonesia katanya kehilangan esensi seninya. “Lagu-lagu zaman sekarang itu kehilangan rasa, nggak kayak kopi tubruk yang pahit tapi jujur,” katanya suatu waktu. Padahal, topik awalnya cuma tentang lagu dangdut koplo terbaru yang sedang hits di TikTok.
Tapi, itulah Irgi Nur Fadhil, pria yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan merenung tentang hal-hal yang sepele namun tampaknya sangat mendalam. Jika suatu saat Anda menemukannya sedang duduk sendirian di pojokan warung kopi dengan wajah serius, jangan khawatir. Dia hanya sedang memikirkan, “Kenapa ya, biji kopi robusta lebih murah daripada arabika, padahal pahitnya sama?”
Ya, Irgi Nur Fadhil, sosok misterius yang hidup di antara realita kantor dan dunia ngopi. Tanpa banyak yang tahu, dia ini sebenarnya mungkin saja jadi motivator kopi pertama di Indonesia. Siapa yang butuh motivator kehidupan kalau kita bisa belajar makna hidup dari sebiji kopi, bukan?
Discussion about this post