Bolongopi – Masukan mi ke air panas, tuang bumbu, aduk-aduk, jadi deh mi instan! Konon, Gen Z juga begitu: maunya yang serba instan. Pemalas, mau serba instan, terlalu ambisius, dan masih banyak lagi citra populer yang kerap disematkan pada mereka. Di tengah kehidupan yang kian edan ini, Gen Z harus menghadapi berbagai tuduhan.
Iyan yang saat ini berumur 22 tahun tak memungkiri ia dan teman-teman satu tongkrongan hidup di dunia yang serba instan.
“Kita hidup di era semua hal jadi mudah, beli makan tinggal gojek, beli barang tinggal klak-klik, ga punya uang tinggal paylater aja” tutur Iyan saat ngobrol diwarung kopi.
Ibarat mi instan, Gen Z menyukai hal-hal yang sifatnya ringkas tanpa perlu upaya keras. Hal ini juga yang membuat Gen Z sering jadi bahan olok-olok generasi sebelumnya.
Di media sosial misalnya, berbagai olok-olok yang dilontarkan untuk Gen Z bertebaran begitu saja. Beberapa akun bahkan secara khusus mengomentari kelakuan-kelakuan Gen Z.
Namun, Iyan tak membantah. Ia membenarkan sederet tuduhan yang diberikan pada generasinya. Bagi Iyan, media sosial jadi faktor utama yang paling berkontribusi terhadap fenomena ini. Kurangnya komunikasi dengan dunia nyata juga dinilai memperburuk stigma yang diberikan pada Gen Z.
“Prilaku apa-apa serba mudah juga karena dapat info dan tutorialnya dari medsos,” ujar Iyan.
Gen Z atau yang juga dikenal dengan sebutan zoomer kini tengah jadi topik hangat di tengah masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan Gen Z sebagai mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012.
Generasi ini dijuluki sebagai ‘digital native’ atau orang-orang yang tumbuh bersamaan dengan reformasi digital. Mereka umumnya terbiasa dengan berbagai kemudahan akses sejak kecil.
Psikolog dari Universitas Padjadjaran Zahrotur Rusyda Hinduan tak menampik tuduhan-tuduhan negatif yang diberikan pada Gen Z. Hal ini, lanjut dia, terjadi karena kemudahan teknologi yang telah dialami mereka sejak kecil.
“Generasi Z itu significant life event-nya apa saja? Ada perkembangan teknologi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa technology advancement itu memang memengaruhi significant life event buat mereka [Gen Z],” ujar Zahrotur dalam keterangannya yang ditulis media.
Ada sebuah proses yang dilalui oleh generasi sebelumnya, tapi tidak dilalui oleh Gen Z.
“Jadi, memang terbiasa seperti itu, ya, instan gitu,” tambahnya.
Tak cuma soal yang instan-instan, hidup di tengah perkembangan teknologi yang membabi buta juga bikin Gen Z cenderung memiliki attention span yang lebih pendek. Hal ini, lanjut Zahrotur, membuat mereka kesulitan untuk fokus pada satu hal dalam waktu yang lama.
Contohnya, Gen Z yang mudah berpindah-pindah tempat kerja. Hal ini jelas berbeda dengan generasi sebelumnya yang umumnya memiliki loyalitas tinggi saat bicara soal dunia profesional.
“Generasi Z itu lebih realistis kan? Ngapain saya, misalnya, harus kerja terus di tempat yang sama gitu, ketika memang di tempat lain ada gaji yang lebih tinggi? Nah, itu ya, jadi jauh lebih realistis gitu,” tambah Zahrotur.
Meski terkesan mudah bosan dan menclak-menclok, tapi menurut Zahrotur, kondisi ini justru mendorong Gen Z jadi lebih fleksibel dan terbuka terhadap banyak peluang baru.
Discussion about this post