Dalam sebuah era di mana kebebasan berbicara diagungkan, tampaknya ada yang lebih dipuja oleh mayoritas masyarakat: diam. Ya, diam kini menjadi filosofi hidup yang dianut oleh banyak orang. Kenapa berbicara, jika diam bisa memberikan rasa aman yang tak ternilai? Tidak ada potensi salah paham, tidak ada ancaman berdebat, apalagi risiko melukai hati orang lain. Sungguh, diam adalah emas, dan berbicara? Mungkin tembaga, kalaupun itu berharga.
Diam adalah solusi segala permasalahan. Ketika korupsi merajalela, ketidakadilan berterbangan seperti debu jalanan, dan hak-hak dasar terkikis perlahan, mayoritas masyarakat lebih memilih diam. Mereka yang terlampau sibuk dengan kehidupan sehari-hari tahu bahwa mengeluarkan sepatah kata protes hanya akan mengundang masalah. Di dunia yang penuh gejolak, siapa yang punya waktu untuk berbicara jika diam lebih efisien?
Coba kita lihat, betapa praktisnya sikap diam ini. Saat tetangga menyetel musik keras-keras tengah malam, orang bijak memilih diam. “Ah, biarlah, dia kan juga manusia,” gumamnya dalam hati. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, masyarakat yang arif tetap diam sambil berusaha lebih hemat. “Toh, nanti juga turun, mungkin,” mereka menghibur diri dalam kesunyian.
Tak hanya itu, bahkan dalam politik, masyarakat pun menemukan kekuatan diam. Bukankah lebih mudah menggulirkan mata saat janji-janji politisi tak terpenuhi, daripada terlibat dalam debat panas yang melelahkan? Biarkan para elite berbicara, berpikir, dan beraksi. Toh, rakyat sudah lelah. Diam mereka adalah tanda kepasrahan yang bijaksana.
Apalagi, teknologi modern sangat mendukung budaya diam ini. Di media sosial, banyak dari kita yang lebih memilih menjadi pengamat pasif, menyimak drama demi drama, tanpa harus ikut terseret dalam arus opini publik yang bising. Mengunggah satu status saja sudah bisa memicu perdebatan panjang—sungguh, betapa merepotkannya! Lebih baik tetap dalam kesunyian, menekan tombol ‘like’ di sana-sini, tanda kehadiran tanpa kata.
Namun, yang lebih memukau adalah betapa masyarakat kini mampu berdamai dengan kebisuan, bahkan saat ketidakadilan jelas-jelas terhampar di depan mata. Mulai dari diskriminasi, ketimpangan sosial, hingga perusakan lingkungan, mayoritas kita tetap memilih diam. “Tunggu saja, pasti ada orang lain yang bicara,” pikir mereka, berharap bahwa seseorang, entah siapa, akan mengambil tindakan. Sementara itu, mereka bisa menikmati kesunyian sambil melanjutkan kehidupan yang damai, setidaknya di dalam ruang batin mereka sendiri.
Jadi, inilah kebijaksanaan terbesar masyarakat masa kini: mengapa banyak bicara, jika diam bisa menjadi senjata paling ampuh? Jika ada hal yang tak sesuai, cukup diam dan lihat saja. Lagipula, mungkin, dunia hanya butuh lebih banyak orang yang paham seni diam, agar semua masalah terselesaikan dengan sendirinya. Ah, betapa damainya dunia ini.
Discussion about this post