Dalam era yang katanya sudah modern, pemilihan kepala daerah atau *pemilukada* di berbagai daerah Indonesia sering kali terasa lebih mirip pertandingan gusti WWE ketimbang pesta demokrasi yang adil dan transparan. Dari awal hingga akhir, mulai dari perebutan panggung, adu janji, hingga pertarungan kata-kata, beberapa tokoh seolah tampil bak raja di negeri sendiri – bedanya, mereka sekarang pakai jas dan dasi, bukan mahkota atau tongkat kerajaan.
### Kampanye yang Lebih Mirip Showbiz
Di tengah hiruk-pikuk kampanye, masyarakat dihadapkan pada *billboard* raksasa yang menyajikan foto kandidat tersenyum ramah dengan slogan yang entah dari mana datangnya. “Untuk Rakyat, Bersama Rakyat” atau “Membangun Daerah dengan Hati”. Tapi siapa yang tahu apa arti sebenarnya dari slogan itu? Bagi banyak kandidat, ini hanyalah permainan kata-kata yang didesain untuk memikat – mirip dengan kata-kata mutiara dalam *lamaran kerja*.
Para calon pemimpin ini berkeliling kota layaknya selebritas, datang dengan rombongan besar yang seakan-akan mereka adalah raja yang baru pulang dari perang. Bakal calon ini mengadakan konser, bagi-bagi sembako, dan bahkan tampil di berbagai acara lokal hanya untuk menunjukkan bahwa mereka “merakyat”. Padahal, untuk bertemu dengan mereka di luar masa kampanye, rasanya seperti harus menunggu hingga matahari terbit dari barat.
### Janji Surga: Modal Utama
Despotisme modern juga nampak dalam janji-janji “surga” yang disampaikan selama kampanye. Semua orang dijanjikan lapangan pekerjaan, subsidi sembako, pembangunan infrastruktur, dan bahkan janji tentang pendidikan gratis. Namun, janji tersebut seringkali hanya setebal angin, tanpa rincian jelas tentang bagaimana semuanya akan diwujudkan. Seolah-olah pemimpin daerah ini memegang tongkat ajaib yang bisa mengubah segala hal dengan sekali kibasan.
Ketika akhirnya terpilih, banyak dari janji itu menguap begitu saja. Alih-alih memenuhi janji, beberapa pemimpin justru mulai memusatkan kekuasaan dengan memperpanjang masa jabatan melalui jalan “halus” (baca: kebijakan lokal yang memungkinkan mereka menguasai panggung lebih lama). Yang paling tragis, mereka seringkali beroperasi di bawah istilah *demokrasi*, padahal praktiknya lebih mirip pemerintahan feodal.
### Keluarga dan Kerabat: Nepotisme Canggih
Satu aspek despotisme modern yang paling mencolok adalah pola *nepotisme canggih*. Ketika seorang kepala daerah menyelesaikan masa jabatannya, tiba-tiba saja istri, anak, atau kerabatnya muncul sebagai kandidat baru. Sebuah *plot twist* yang seakan-akan penonton bioskop sudah bisa tebak jalan ceritanya. Mereka tampak seperti kandidat baru, tapi dengan logistik dan sumber daya lama. Dengan adanya “regenerasi dinasti”, kita jadi bertanya-tanya, apakah ini pemilukada atau sinetron keluarga?
Fenomena ini menjadikan pemilukada mirip *warisan kerajaan*. Bukan karena mereka memiliki darah biru, tetapi karena kekuasaan kini menjadi bisnis keluarga. Setiap keputusan dan kebijakan yang diambil kerap kali menguntungkan lingkaran dalam, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
### Demokrasi Kosong atau Despotisme Bertopeng?
Pemilukada di beberapa daerah di Indonesia pada akhirnya seolah-olah menjadi ajang *kekuasaan berbalut demokrasi*. Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, tetapi pilihan mereka sebenarnya sudah dikendalikan oleh segelintir elite yang menguasai arena politik. Kita dipertontonkan dengan proses demokratis, namun nyatanya semuanya sudah dikemas dan diatur sedemikian rupa.
Para pemimpin ini berusaha keras menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat, tetapi seringkali, mereka malah semakin terpisah dari kenyataan. Mereka menciptakan batasan antara “kami” dan “mereka” yang semakin sulit dijembatani. Para pemilih hanya berperan sebagai saksi dari drama pemilu yang berulang tiap periode, sementara para pemain utama tetap sama, dengan baju dan senyum baru.
### Akhir Kata
Di balik slogan dan senyum yang terpampang, despotisme modern dalam pemilukada tampak jelas. Kekuasaan tetap berputar di lingkaran yang sama, janji kampanye hanyalah retorika kosong, dan masyarakat hanya menjadi penonton setia yang tidak pernah diberikan pilihan nyata. Sungguh ironi, ketika demokrasi berubah menjadi panggung bagi despotisme bertopeng rapi, di mana raja dan ratu berpura-pura berjalan di tengah rakyat, tapi kenyataannya hanya berlomba memperpanjang masa jabatannya sendiri.
Discussion about this post