Di tengah hiruk-pikuk jalanan lalu lalang kendaraan, berkumpullah ratusan guru honorer sambil mengangkat spanduk dan berteriak lantang, menuntut penghapusan diskriminasi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Teriakan mereka bergema, menuntut keadilan atas pelarangan keikutsertaan guru swasta dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sementara itu, di sudut lain—tak jauh dari lokasi demo—sekumpulan pengangguran hanya bisa saling berpandangan sambil menggaruk-garuk kepala. “Seleksi PPPK itu apa sih? Bisa dimakan?”
Di depan gedung pemerintahan, salah satu guru yang telah mengabdi selama 15 tahun, berkumis tebal dan berwajah merah karena amarah, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Sudah lama kami mengabdi! Tapi kenapa yang baru lulus bisa dapat kesempatan lebih besar? Ini jelas diskriminasi!” teriaknya, disambut sorak-sorai dari rekan-rekan seperjuangannya.
Di sudut jalan yang sepi, sekelompok pengangguran yang sudah putus asa sejak pandemi, hanya bisa mengangguk-angguk, tak tahu apakah mereka harus ikut simpati atau justru iri.
“Masalah mereka sih, masalah ‘kesempatan yang tidak adil’, ya?” ujar salah seorang pengangguran sambil merenungi kata-kata itu. “Sedangkan kita, ya begini… masalah kita adalah tidak adanya kesempatan sama sekali. Mereka berjuang agar tidak tersisih, sementara kita bahkan belum bisa memasuki pintu kesempatan.”
### Berkeluh Kesah Tentang Seleksi: Dari Mereka yang Sudah Punya Pekerjaan
Demo hari itu penuh dengan semangat dan emosi. Para guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengajar merasa bahwa seleksi PPPK ini penuh ketidakadilan. Seleksi didominasi oleh mereka yang “lebih fresh” dan dianggap lebih “efisien”, sementara pengalaman panjang para guru honorer malah dianggap kurang relevan.
“Gaji kami kecil, status kami tak jelas, dan ketika ada kesempatan untuk menjadi PPPK, kami malah disingkirkan! Apakah ini adil?” kata seorang guru yang sudah berambut putih. “Seharusnya pengalaman kami dihargai. Kami ini pahlawan tanpa tanda jasa! Lalu kenapa yang baru lulus langsung dapat kesempatan?”
Sementara itu, para pengangguran yang menyaksikan dari jauh hanya bisa saling melirik. “Jadi, sekarang berjuang bukan lagi soal punya pekerjaan atau tidak, tapi soal siapa yang lebih lama menunggu kesempatan?” ujar seorang lulusan S1 yang sudah 3 tahun ini hanya menganggur di rumah, mencoba melamar pekerjaan ke sana kemari tanpa hasil.
“Ah, mungkin jadi guru honorer pun lebih baik daripada tidak punya pekerjaan sama sekali. Toh, setidaknya mereka masih bisa demo sambil menunjukkan apa yang sudah mereka lakukan. Sementara kita? CV kita cuma jadi tumpukan kertas yang tidak dilirik,” balas temannya dengan nada getir.
### Ironi Negeri yang Kaya dengan Pengangguran dan Pekerjaan Tak Layak
Kita mungkin bisa memahami frustrasi para guru honorer yang merasa terdiskriminasi. Mereka sudah bertahun-tahun mengabdi, gaji yang diterima pun bahkan sering tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Namun, tak jauh dari situ, para pengangguran justru bingung bagaimana caranya agar bisa mendapatkan kesempatan seperti mereka.
Seorang pengangguran yang sedang duduk di dekat halte bus berujar, “Dulu saya pernah coba daftar jadi guru honorer. Tapi katanya, saya tidak cukup punya ‘pengalaman’. Nah, sekarang mereka yang punya pengalaman merasa tidak dihargai, sementara kami yang tidak punya pengalaman, tidak bisa masuk-masuk. Apakah ini artinya semua orang memang sama-sama disisihkan?”
Ia tertawa, tawa yang jelas bukan karena lucu, melainkan cermin keputusasaan yang mendalam. “Jadi, apakah saya harus bekerja dulu secara gratis selama beberapa tahun, baru bisa menuntut diskriminasi seperti mereka? Bagaimana bisa protes seleksi, jika seleksinya saja saya tidak tahu ada di mana?”
### Para Pengangguran: “Diskriminasi Itu Terjadi Jika Kalian Sudah Bisa Ikut Seleksi”
Ketika seorang pengangguran mencoba bertanya kepada salah satu peserta demo, suasana hening sejenak. “Pak, seleksi PPPK itu gimana caranya ikut? Bisa bantu kasih info nggak?”
Sang guru menoleh, raut wajahnya tak jelas apakah itu simpati atau bingung. “Lho, kamu belum pernah daftar ya?”
“Belum pernah dengar soal itu, Pak. Lulusan saya malah sering ditolak di mana-mana. Bisa jadi honorer saja sudah syukur.”
“Wah, ya itu masalahnya lain lagi,” jawab sang guru honorer sambil tersenyum kecut. “Masalah kita ini beda level, Dek. Kalau kamu belum jadi guru honorer, gimana bisa berharap dapat kesempatan ikut seleksi PPPK?”
Mereka tertawa bersama. Ya, tertawa karena terjebak di dalam lingkaran yang tak punya pintu keluar. Para pengangguran ini tak punya kesempatan untuk masuk ke dunia pekerjaan formal, sedangkan para guru honorer berjuang agar pengabdian mereka dihargai dengan lebih layak. Seolah-olah nasib mereka ini seperti permainan tangga ular: satu melangkah satu petak ke depan, tapi selalu terjungkal ke petak-petak di bawahnya.
### Demo yang Membuka Mata Tentang Siapa yang Lebih Terabaikan
Ketika demo berakhir dan para guru honorer perlahan pulang dengan harapan tuntutan mereka didengar, para pengangguran yang sejak tadi hanya menjadi penonton ikut bangkit dari duduk mereka.
“Ya, setidaknya mereka didengar. Sekarang giliran kita demo nggak ya? Demo supaya dapat lowongan pekerjaan. Cuma… demo ke siapa?” tanya seorang pengangguran. Teman-temannya hanya mengangkat bahu. Karena kenyataannya, bahkan untuk mendapat perhatian dari pemerintah, mereka harus punya status—status yang tak pernah mereka miliki.
Demo guru honorer hari ini bukan hanya mencerminkan diskriminasi seleksi, tapi juga menunjukkan ironi besar di negeri ini: bahwa menjadi honorer saja sudah menjadi hak istimewa. Dan di negeri yang diwarnai oleh kekosongan kesempatan, seleksi bukan lagi masalah diskriminasi, tapi tentang siapa yang lebih beruntung masuk ke dalam lingkaran permainan ini.
Dan di balik demo yang ramai hari ini, sekelompok orang di sudut jalan hanya bisa berbisik: “Kami? Kami tidak mau menuntut diskriminasi apa-apa. Kami hanya ingin satu pekerjaan, apapun itu. Mungkin jadi honorer, mungkin jadi penjaga toilet. Karena di negeri ini, bahkan pekerjaan tak layak pun adalah sebuah kemewahan yang tak semua bisa rasakan.”
Discussion about this post