Tak hanya sebatas pada penelitian saja, psikologi juga berusaha memanfaatkan humor sebagai pengobatan; hiburan menggelikan terjadi usai horor berbanjir darah bertumbalkan tujuh jiwa ulah teroris Islam radikal di London pada Juni 2017. Di tengah-tengah kesemrawutan orang-orang berlarian ke segenap penjuru angin, tampak seorang British yang berjalan lambat dan teratur. Konsentrasinya dipusatkan pada genggaman gelas bir di tangannya, agar tak menetes.
“Apalah arti teror, prioritas adalah penyelematan bir atau kita harus menetapkan prioritas. Kita ini masih bangsa British.” adalah leluconnya.
Tentu saja, sebagian orang tak akur dengan perbuatan sang penenggak bir di tengah-tengah perkabungan tersebut.
“Tak seorang pun melupakan banjir darah, tetapi humor memberikan satu kekuatan kepada mereka yang berjuang, yang terluka dan yang gugur,” tangkis para pembelanya.
Celetohan senafas mengingatkan bahwa kaum teroris memang sengaja menciptakan “suasana ketakutan.” Karena itu, penenggak bir yang sama sekali enggan meneteskan birnya gara-gara perbuatan pengecut itu, mungkin adalah pahlawan akbar.
Alhasil komentar-komentar yang humoris tersebut berubah menjadi pendapat yang kian dianjurkan oleh para psikolog. Bahwa humor memperkokoh resistensi rohani dan satu alat yang berharga guna melawan segenap malapetaka.
“Emosi positif memperluas wawasan. Ketakutan, kejengkelan, dan kemarahan sebaliknya. Banyak studi untuk memperlihatkan bahwa dalam situasi sulit, manusia dapat sukses mengatasinya bila humor digunakan.” ujar Willibald Ruch, yang telah 40 tahun melakukan peelitian tentang akibat keriangan.
Kini, pesan tersebut telah diterima beberapa klinik psikiatri. Di Stutgarter Fliedner Klinik, Jerman, misalnya, selain obat-obatan dan terapi, para penderita yang selalu merasa ketakutan, depresi, atau stres, ditawari pelatihan humor. Jurus-jurusnya adalah:
- humor is tragedy plus time (hal-hal yang menjengkelkan hari ini, esok dapat digoreng jadi lelucon);
- perubahan sudut pandang (sesuatu itu memiliki tiga sisi: positif, negatif dan aneh);
- perubahan orientasi makna (menganggap posisi diri sendiri tak penting; dan
- mencari rekan pendamping.
Menurut neurologis Swiss, Jurg Keseeling dari Pusat Rehabilitasi Valens, tertawa bagi kesehatan itu afdhol. “Ngakak mengaktifkan sistem sirkulasi jantung”. Menurutnya, “Dua puluh detik ketawa sama dengan olahraga tiga menit mendayung cepat.” Sementara itu, ujar Psikiater Volker Faust dari Ravensburg, Jerman. “Siapa ketawa hidupnya lebih lama”- orang-orang yang optimis dan humoris memiliki imun yang stabil. Bahkan imbuhnya, dalam ketawa, tersembunyi obat ajaib yang sanggup melawan kanker, Aids, penyakit jantung, sakit kepala, ketakutan kronis dan depresi.
Dampak tertawa dalam tubuh dan rohani akhirnya menciptakan ilmu pengetahuan baru, yaitu “gelotologie” (bahasa Yunani, gelos = tertawa). Istilah itu ditanamkan oleh psikiater asal AS, William F Fry, yang sejak tahun 1964 melakukan laughter research pada Universitas Stanford.
Di Jerman, psikologi Michael Tietz, tergolong top-nya selebriti gelotologie. Selain mengajar, dia juga pendiri “HumorCare Deutschland”, sebuah organisasi yang mendorong humor mengembara di bidang-bidang terapi, perawatan, pedagogik, dan konsulting.
– Pipit R Kartawidjaja
Discussion about this post