Prabu Basukesti di Wirata ingin mengadakan sebuah pertunjukan. Gadis-gadis cantik di negerinya dijadikan sebagai dara-dara yang kelak dinamakan padaya, meniru upacara di khayangan suralaya. Sejak itu lahirlah tari bedaya.
Bersamaa dengan masa padarawana, di gunung Mahendra ada seorang laki-laki bernama Kupa dari dusun Kelasa. Kupa menuturkan sebuah kejadian kepada Dewi Rukmawati bahwa selama ia belajar, baru kali ini ia merasa kerepotan.
Biasanya, waktu ia memasang tabung bambu di pohon aren, seharusnya ia tidak memanjatnya terlebih dahulu. Pohon aren akan melengkung dengan sendirinya ketika ia berada di hadapan pohon tersebut. Namun dalam kali ini pohon aren tidak bisa melengkung dengan sendirinya.
Kenapa bisa begitu? tanya Kupa.
Dewi Rukmawati menjawab, “Wahai Kupa, sebelumnya kau selalu jujur, tapi akhir-akhir ini kau kerap berdusta. Jadi kau sudah menghentikan tapa batin. Tapa batin adalah kejujuran. Tapa nyawa adalah ingatan, dan tapa rasa adalah keheningan. Barang siapa mampu berbuat dan berkata jujur sekali saja dalam sehari, apapun yang dia inginkan akan terwujud. Dan barangsiapa yang bisa jujur hingga akhir hayat, maka semua yang dikehendakinya akan terpenuhi. Kau berbohong kepada anakmu pada saat dia menangis. Lantas anakmu kau hibur dengan janji bahwa kau akan mencarikannya seekor jangkrik. Dan anakmu menjadi gembira. Namun kemudian kau tidak kunjung mencarikannya seekor jangkrik karena kesibukan lain. Tepatilah janjimu, agar kau mendapat kebahagiaan. Di sebelah barat kebun pekaranganmu ada tanah gembur berbukit seperti ilang jangkrik, Galilah, dan kau akan menemukan harta benda yang terpendam disana!”
Selesai Dewi Rukmawati bicara, Kupa mengucapkan terimakasih lalu bergegas pulang. Setibanya di rumah, Kupa melaksanakan semua pesan Dewi Rukmawati. Laki-laki tersebut akhirnya menjadi kaya raya lantaran menemukan harta karun di tempat itu.
Discussion about this post