Di bawah naungan pohon-pohon siwalan dan cemara duri, diantara debur ombak lautan dan semerbak aroma tembakau yang sayup sampai, seorang remaja yang masih berkelana pendek berjalan sendirian sambil merasakan kedekatannya dengan alam. Remaja itu masih duduk di bangku SMP, sudah senang membaca buku dan menunjukan minat yang kuat untuk menjadi penyair. Ia rajin mendengarkan siaran sastra yang secara rutin ditayangkan RRI Sumenep, dan kemudian menjadi anggota pecinta sastra Gita Taruna di radio tersebut.
Ia sudah terlebih dahulu mengenal apa itu yang dinamakan sajak. Sanusi Pane, Amir Hamzah dan Chairil Anwar sudah ia akrabi lewat saja-sajak yang dibacanya. Kakeknya kebetulan pembaca sastra yang banyak koleksi buku, termasuk kumpulan sajak. Dari kakeknya pula ia mendengar nama Mpu Sedah, Mpu Panuluh dan Mpu Kanwa.
Selain itu, kakeknya sering bercerita tentang epos Bharatayudha dan Arjunawiwaha. Sementara ayahnya adalah pengagum Emile Zola, Mohammad Iqbal dan Al-Ghazali, yang berlangganan majalah Mimbar Indonesia dan Panji Masyarakat.
Abdul Hadi Wiji Muthari nama remaja yang bercelana pendek itu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih dan rambutnya ikal agak kecokelat-cokleatan. Sejak duduk di bangku SMP ia sudah menulis sajak yang dipasang di majalah dinding dan dikirim ke radio untuk dibacakan. Karena minatnya yang kuat pada sastra maka ia melanjutkan SMA di Surabaya. Di kota buaya ini bacaanya semakin luas, dan mulai berani mengirimkan sajak-sajaknya ke ruang remaja surat kabar di Suarabaya. Ia juga bergaul dengan teman-teman yang mempunyai minat serupa sehingga semangatnya untuk berkarya menjadi terpacu.
Abdul Hadi Wiji Muthari kemudian menyingkat namanya menjadi Abdul Hadi W.M. Ia merupakan perpaduan unik antara dunia akademik dan kepenyairan, antara dunia formal dan intuitif, antara sesuatu yang rasional dan mistis, juga antara tradisi dan modernitas.
Jejak-jejak yang ditinggalkannya sangat jelas dan tegas. Ia meninggalkan saja-sajak yang berharga, esai-esai yang mencerahkan, makalah-makalah yang bernas, kajian-kajian budaya yang mendalam, ditambah aktivitasnya sebagai budayawan yang selalu menawarkan ruang serta atmosfir bagi tumbuhnya kreativitas yang bersumber pada akar tradisi, modernitas dan juga religiusitas.
Semua ini menunjukan bahwa Abdul Hadi bukanlah penyair atau sarjana kebanyakan. Ia bukan doktor atau profesor administratif, seperti yang sekarang banyak bertebaran baik di kampus maupun partai politik.
Sebuah sajak yang berjudul “Barat dan Timur” yang secara tersirat mapupun tersurat menggambarkan sosok pribadinya.
Barat dan Timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Budha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze
Budha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Serta Muhammad Rosulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpa di mana-mana.[]
Discussion about this post